Minggu, 09 Februari 2020

Indahnya Kesabaran Berbuah Pahala

       


     Kehidupan manusia di dunia ini tidak akan terlepas dari dua hal, yaitu nikmat dan musibah. Begitu banyaknya nikmat yang diberikan oleh Allah, namun terkadang datang musibah yang berupa kesusahan dan kesedihan dan kedua hal ini (nikmat dan musibah) membutuhkan kesabaran dalam menerima dan menyikapinya. Sabar merupakah salah satu pilar kebahagiaan bagi seseorang yang akan memberikan ketenangan dan ketentraman di dalam jiwa manusia.

Pengertian Sabar

  Syaikh Salīm ibn ‘Īd al-Hilālī dalam kitabnya, dalam bab ‘aṣ-Ṣabru al-Jamīl’ mendefinisikan sabar dalam tiga perkara. Pertama, sabar adalah memelihara (menetapkan) jiwa pada ketaatan kepada Allah dan selalu menjaganya, dan memeliharanya dengan keikhlasan serta memperbaikinya atau memperbagus dengan ilmu. Kedua, sabar adalah menahan jiwa dari maksiat dan keteguhannya dalam menghadapi syahwat dan perlawanannya terhadap hawa nafsu. Ketiga, sabar adalah keridhaan kepada qada’ dan qadar yang telah ditetapkan oleh Allah tanpa mengeluh di dalamnya dan keputusasaan.

Sabar dalam Ketaatan Kepada Allah

    Jalan menuju Allah adalah jalan yang penuh dengan rintangan. Sedangkan jiwa itu tidak dapat istiqamah di atas perintah Allah dengan mudah. Maka barang siapa yang ingin menundukkan dan mengekangnya maka di harus bersabar.
Sabar dalam ketaatan kepada Allah meliputi tiga hal, yaitu,
  1. Sabar sebelum melakukan ketaatan tersebut, yaitu dengan niat yang benar, ikhlas dan bersih dari riya’.
  2. Sabar ketika menjalankan ketaatan, yaitu dengan tidak lalai dalam melakukannya dan juga tidak bermalas-malasan.
  3. Sabar setelah beramal, seseorang tersebut hendaknya tidak menjadi ta’jub dengan dirinya dan menampakkan apa yang ia punya dalam rangka sum’ah dan riya`. Karena hal tersebut hanya akan menghapus amalan, pahala dan pengaruh-pengaruh yang seharusnya dia dapatkan. (Naḥwu Akhlāqi as-Salāfi : 105)
     Sabar dalam ketaatan kepada Allah diantaranya adalah sabar dalam menuntut ilmu, sabar dalam mengamalkan dan sabar dalam mendakwahkannya. Tiga hal ini tercakup ke dalam firman Allah ta’ālā, (yang artinya) : ‘Demi masa, sesungguhnya seluruh manusia benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman, beramal shalih, saling menasehati dalam kebenaran dan saling menasehati untuk menetapi kesabaran’ (Q.S al-‘Asr: 1-3). Dalam surat tersebut Allah menyatakan bahwa seluruh manusia itu berada dalam kerugian, kecuali manusia-manusia yang disifati dengan empat sifat,
  1. Beriman kepada perkara-perkara yang diperintahkan oleh Allah. Keimanan ini tidak akan terwujud dengan tanpa adanya ilmu.
  2. Beramal shalih, mencakup seluruh amal kebaikan, dhahir maupun batin, berkaitan dengan hak-hak Allah ataupun hak-hak seorang hamba, ataukah itu amalan wajib atau sunnah.
  3. Saling menasehati dalam kebenaran (iman dan amal shalih), saling menasehati dalam keimanan kepada Allah dan beramal shalih, bersemangat kepadanya dan mencintainya.
  4. Saling menasehati untuk menetapi kesabaran. Bersabar dalam ketaatan kepada Allah, bersabar dalam menjauhi maksiat kepadaNya, dan bersabar terhadapt takdir yang telah ditetapkanNya.
      Dengan kedua perkara pertama seorang hamba akan menyempurnakan dirinya, dan dengan dua perkara selanjutnya dia akan menyempurnakan orang lain. Maka ketika empat hal ini telah sempurna seorang hamba itu akan terselamatkan dari kerugian dan akan meraih kemenangan yang besar (Taisīru Karīmi ar-Raḥmāni: 1102).

Sabar Menjauhi Maksiat
    Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

حُجِبَتْ النَّارُ بِالشَّهَوَاتِ وَحُجِبَتْ الْجَنَّةُ بِالْمَكَارِهِ

“Neraka dikelilingi dengan syahwat (hal-hal yang menyenangkan nafsu), sedang surga dikelilingi hal-hal yang tidak disenangi (nafsu).”

     Oleh karena itu barang siapa yang menginginkan surga, maka dia harus bersiap untuk bersabar karena surga itu dikelilingi oleh hal-hal yang tidak disenangi oleh hawa nafsu. Terkadang seseorang itu merasa bersabar menjuhi maksiat itu lebih berat daripada bersabar menjalankan ketaatan. Mungkin seseorang bisa bersabar melaksanakan shalat malam semalam suntuk, namun dia tidak bisa bersabar jika diminta meninggalkan perkara-perkara yang disenanginya yang tidak diperbolehkan oleh syari’at.

Sabar Menerima Takdir

     Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab dalam kitab beliau yang sangat agung, menyusun bab khusus mengenai sabar terhadap takdir, yaitu bab ‘minal īmāni billāhi aṣ-ṣabru ‘alā aqdārillāhi’ (salah satu ciri (bagian) dari keimanan kepada Allah adalah bersabar tatkala menghadapi takdir-takdir Allah).

      Syaikh Zaid bin Muhammad bin Hadi Al Madkhali mengatakan, “Macam ketiga dari macam-macam kesabaran adalah bersabar dalam menghadapi takdir dan keputusan Allah serta hukum-Nya yang terjadi pada hamba-hamba-Nya. Karena tidak ada satu gerakan pun di alam raya ini, begitu pula tidak ada suatu kejadian atau urusan melainkan Allah lah yang mentakdirkannya. Maka bersabar itu harus. Bersabar menghadapi berbagai musibah yang menimpa diri, baik yang terkait dengan nyawa, anak, harta dan lain sebagainya yang merupakan takdir yang berjalan menurut ketentuan Allah di alam semesta…” (Thariqul wushul, hal. 15-17).

      Syaikh Shalih bin Abdul ‘Aziz Alusy Syaikhhafizhahullahuta’alamengatakan dalam penjelasannya tentang bab yang sangat berfaedah ini, “Sabar tergolong perkara yang menempati kedudukan agung (di dalam agama). Ia termasuk salah satu bagian ibadah yang sangat mulia. Ia menempati relung-relung hati, gerak-gerik lisan dan tindakan anggota badan. Sedangkan hakikat penghambaan yang sejati tidak akan terealisasi tanpa kesabaran.



     Hal ini dikarenakan ibadah merupakan perintah syari’at (untuk mengerjakan sesuatu), atau berupa larangan syari’at (untuk tidak mengerjakan sesuatu), atau bisa juga berupa ujian dalam bentuk musibah yang ditimpakan Allah kepada seorang hamba supaya dia mau bersabar ketika menghadapinya.

    Hakikat penghambaan adalah tunduk melaksanakan perintah syari’at serta menjauhi larangan syari’at dan bersabar menghadapi musibah-musibah. Musibah yang dijadikan sebagai batu ujian oleh Allahjalla wa ‘alauntuk menempa hamba-hamba-Nya. Dengan demikian ujian itu bisa melalui sarana ajaran agama dan melalui sarana keputusan takdirNya. (artikel muslim.or.id ‘Hakikat Sabar 1’)

     Sabar adalah pedang yang tidak akan tumpul, tunggangan yang tidak akan tergelincir dan cahaya yang tidak akan padam. Akan tetapi sabar tidaklah semudah ketika kita mengucapkannya. Jika tidak, Allah tidak akan memberikan pahala yang besar untuk orang-orang yang bersabar, seperti dalam firmanNya, yang artinya “Katakanlah, ‘Wahai hamba-hambaKu yang beriman, bertakwalah kepada Rabb-mu’. Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini memperoleh kebaikan. Bumi Allah itu luas. Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” (Q.S az-Zumār:10). Allah tidak akan memberikan kecintaan dan ma’iayyahNya (kebersamaanNya) seperti dalam firmanNya, yang artinya “Wahai orang-orang yang beriman, mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan shalat, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (Q.S al-Baqarah : 153), “. . . Mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa mereka di jalan Allah, dan tidak lesu dan tidak pula menyerah kepada musuh. Allah mencintai orang-orang yang bersabar.” (Q.S ali-‘Imran :146). Allah memberikan kebersamaan yang bersifat khusus kepada orang-orang yang bersabar, dan Allah akan menghilangkan kesusahan darinya dan akan memudahkan setiap kebaikan bagi orang-orang yang bersabar. Akan tetapi sabar tidak bisa kita lakukan dengan mudah, kita memerlukan pertolongan dari Allah.

      Betapa perkara ini merupakan perkara yang tidak mudah karena hidup ini pada hakikatnya adalah untuk bersabar. Semoga Allah memberikan taufiq kepada kita untuk bisa bersabar di setiap perkara yang kita hadapi. Baik itu dalam ketaatan kita kepada Allah dan menjauhi maksiat kepadaNya, juga dalam menetapi taqdirNya yang tidak pernah kita dapat mengira dan menyangkanya. Allāhu a’lam.
***

Pemuda Hijrah
Penulis: Yogi Andriyadi, S.Pd
Rujukan:
  • Naḥwu Akhlāqi as-Salāfi, Syaikh Salīm ibn ‘Īd al-Hilālī
  • Taisīru Karīmi ar-Raḥmāni, Syaikh Abdur-rahmān ibn Nāṣir as-Sa‘dīy
  • Artikel muslim.or.id ‘Hakikat Sabar 1’, Abu Mushlih Ari Wahyudi

Senin, 25 Desember 2017

Menanamkan Akhlakul Karimah Pada Remaja Islam



Akhir-akhir ini kita dibuat prihatin dengan maraknya tawuran antar pelajar, merebaknya pemakaian narkoba di kalangan remaja, pergaulan bebas diantara remaja, dan beberapa tindak kejahatan yang melibatkan anak remaja. Apa sebenarnya yang salah dengan negeri ini, sehingga banyak remaja Indonesia terjerumus kepada sikap dan perilaku yang menyimpang dari nilai-nilai agama, moral, dan etika?

Padahal sebagai generasi harapan bangsa, remaja diharapkan kelak menjadi pemimpin yang akan membawa kemajuan dan kesejahteraan bagi bangsanya. Namun dengan kondisi remaja seperti yang tergambar di atas, bagaimana kita bisa berharap banyak pada kaum remaja? Tak bisa terbayangkan bagaimana kondisi negara kita di masa depan bila kaum remaja sekarang ini berperilaku menyimpang, malas, semaunya sendiri, tidak mengindahkan moral dan etika, serta melanggar hukum.
Banyak faktor yang melatarbelakangi rusaknya mental dan kepribadian kaum remaja di negeri ini. Faktor itu meliputi; pendidikan, lingkungan sosial, ekonomi, seni-budaya, dan lain sebagainya. Era globalisasi yang ditandai dengan kemajuan di berbagai bidang terutama dalam bentuk transformasi teknologi informasi dan budaya memberi dampak signifikan bagi perubahan watak dan perilaku kaum remaja. Intensitas penggunaan internet dan video game yang meningkat di kalangan anak-anak dan remaja turut memberi andil.

Sekarang ini kita bisa melihat begitu banyak remaja yang suka bergaya, berperilaku, dan meniru artis asing. Contohnya korean style yang sedang mewabah di kalangan remaja. Ironisnya, hal itu juga diikuti remaja muslim. Memang, kegiatan meniru sang idola bagian dari pembentukan pribadi remaja dalam tahap pencarian jati diri. Dalam ilmu psikologi hal itu sah saja selama kegiatan meniru bernilai positif. Namun yang disayangkan, lebih banyak kegiatan meniru itu justru bernilai negatif dan berpotensi merusak mental kepribadian remaja.

Pasalnya, apa yang mereka tiru dan ikuti tidak selaras dengan norma maupun nilai-nilai agama, sosial, dan budaya yang dianut di negeri ini. Sebagai negara yang mayoritas beragama Islam dan berbudaya ketimuran sangatlah tidak sesuai bila mengikuti budaya asing, khususnya barat, yang cenderung liberal, hedonis, dan permisif. Mengembangkan pemikiran yang maju dan modern seperti yang dilakukan kaum reformis Barat boleh saja dilakukan selama tidak menafikan nilai-nilai moralitas yang ditanamkan oleh agama dan kultur sosial setempat.

Islam mengajarkan umatnya untuk mencari ilmu sampai ke negeri China, belajar hingga akhir hayat, dan mengembangkan potensi dalam upaya meningkatkan kesejahteraan di dunia selama tidak menyalahi syariat agama. Semestinya kaum remaja muslim jangan hanya sekadar sebagai penonton, peniru, atau pengekor. Remaja muslim harus menjadi pembaharu, pemikir, dan pioner bagi kemajuan masyarakat dunia. Seperti yang dulu pernah dilakukan oleh ilmuwan Islam seperti Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, Al-Biruni, Al-Khawarizmi, Ibnu Ismail Al Jazari, dan banyak lagi yang lainnya.
            Allah Ta’ala berfirman :
كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma`ruf, dan mencegah dari yang munkar”. (QS. Ali Imran: 110). Ayat di atas sangat jelas menyiratkan bahwa umat Islam adalah umat terbaik di dunia. Karena umat Islam yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya senantiasa berbuat terbaik bagi dirinya, lingkungannya, dan sesama.

Untuk mewujudkan visi sebagai umat terbaik, maka diperlukan upaya pembentukan karakter muslim yang kuat. Hal ini harus dilakukan melalui pendidikan sejak usia dini atau kanak-kanak, remaja, hingga dewasa. Dalam hal ini peran orang tua, guru, dan pemerintah sebagai penyedia fasilitas sangat besar sekali dalam pembentukan watak dan kepribadian seorang muslim.

Pembentukan Karakter Remaja Islami
Untuk membentuk karakter remaja islami yang cerdas, mandiri, tangguh, berakhlakul karimah, amanah, dan tawaduk tidak hanya dilakukan melalui pendidikan formal seperti di sekolah atau pesantren. Pendidikan dan penanaman nilai-nilai islami justru dimulai dari lingkungan keluarga. Dalam hal ini orang tua memikul tanggung jawab dan peran utama mendidik anak. Orang tualah yang menentukan mau dijadikan seperti apa dan diarahkan ke mana jalan hidup anak.

Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda:  “Setiap (anak) yang dilahirkan (pasti) dilahirkan di atas fitrah, kedua orang tuanyalah yang membuat dia jadi Yahudi atau Nasrani atau Majusi” (HR. Abu Hurairah). Hadist ini menekankan pentingnya tugas orang tua dalam mengawali pendidikan pada anaknya. Orang tua mesti mengenalkan Islam secara dini, karena dengan memeluk agama Islam dan menjalankan syariat dengan benar akan menjadi benteng sekaligus penyelamat bagi hidupnya, baik di dunia maupun di akherat.

Allah Ta ‘ala berfirman: “Dan Ibrahim telah mewasiatkan ucapan itu kepada anaknya, demikian pula Yaqub. (Ibrahim berkata): ‘Hai anak-anakku, Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu, maka janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk agama Islam.” (QS. Al-Baqarah: 132). Selanjutnya keyakinan pada agama Islam ini dikuatkan dengan pelajaran tauhid, yakni penghambaan dan penyerahan diri kepada Allah SWT.

Allah Azza Wa Jalla berfirman: “Katakanlah: ‘Sesungguhnya Shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam, tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah).” (QS. Al-An’am: 162-163). “Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak pula bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetaphan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan yang lain tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sungguh dia telah sesat dengan kesesatan yang nyata.” (QS. Al-Ahzab: 36).

Setelah pelajaran tauhid ini tertanam kuat pada diri sang anak, barulah kemudian diajarkan tentang akhlak, ilmu pengetahuan, ketrampilan, dan segala hal yang menyangkut kehidupan di dunia. Mengenai pendidikan akhlak ini kita bisa mencari referensi pada akhlak dan kepribadian Rasulullah saw. Karena Nabi Muhammad saw adalah sebaik-baik manusia di muka bumi ini. Pada dirinya terdapat uswatun hasanah (suri tauladan yang baik).

Beliau pernah bersabda kepada Ibnu Abbas ra. ketika mengajarkan beberapa perkara aqidah kepadanya, “Hai anak kecil, saya akan mengajarkan kepadamu beberapa perkataan: Jagalah Allah niscaya Dia akan menjagamu, jagalah Allah niscaya kamu akan mendapati Dia berada di depanmu, jika kamu meminta maka minta hanya kepada Allah dan jika kamu meminta pertolongan maka minta pertolongan hanya kepada Allah”. (HR. At-Tirmizi)

Dan beliau juga bersabda dalam masalah sholat: “Perintahkanlah anak-anak kalian untuk mengerjakan sholat ketika mereka berumur tujuh tahun dan pukullah mereka karena (mereka meninggalkan) nya ketika mereka telah berumur sepuluh tahun dan pisahkanlah mereka dalam tempat tidur”. Beliau pernah menegur Umar bin Abi Salamah ketika dia sedang makan, “Hai anak kecil, bacalah bismillah (sebelum makan), makanlah dengan (tangan) kananmu dan (mulailah) makan dari (makanan) yang terdekat denganmu”. (HR. Muslim)

Begitu perhatian Rasulullah saw kepada penanaman akhlak yang baik sejak dini, sehingga beliau tak segan menegur anak kecil. Meski kita semua tahu sifat anak kecil yang lebih suka bermain-main dan bercanda. Kita mungkin akan dibuat jengkel dan hilang kesabaran oleh perilaku anak yang mudah mengabaikan perintah. Tapi justru di sinilah iman kita diuji. Mendidik anak tak ubahnya mengukir di atas batu; sangat sulit dan membutuhkan waktu. Namun jika kita terus melakukannya dan tak kenal lelah, insya Allah ukiran kebaikan yang kita ajarkan kepada anak-anak akan terus membekas hingga dewasa!

Menanamkan Sifat-sifat Terpuji
Hal lain yang perlu ditekankan pada pembentukan karakter remaja Islami adalah penanaman sifat-sifat terpuji seperti: jujur, sabar, adil, bijaksana, amanah, rendah hati, welas asih kepada sesama, suka menolong, peka terhadap lingkungan, dan bertoleransi atas perbedaan yang ada. Muslim yang baik adalah pribadi yang tidak suka pada kekerasan, permusuhan, dendam, kebencian, atau mengobarkan api konflik kepada orang lain, apalagi kepada sesama muslim.

Allah Ta’ala berfirman: “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya” (QS. Al-Maidah : 2). Di ayat lain Allah Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya Allah tidak akan menzholimi seseorang walaupun sebesar zarrah, dan jika ada kebajikan sebesar zarrah, niscaya Allah akan melipat gandakannya dan memberikan dari sisi-Nya pahala yang besar”. (QS. An-Nisa’: 40).

Rasulullah saw menekankan pentingnya menjaga diri dari perbuatan zalim atau menyakiti orang lain, terlebih kepada sesama muslim. Beliau bersabda: “Janganlah kalian saling hasad, janganlah kalian saling membenci, janganlah kalian saling membelakangi, janganlah seorang dari kalian membeli barang yang telah dibeli oleh orang lain, dan hendaklah kalian menjadi hamba Allah yang bersaudara. Seorang muslim adalah saudara bagi muslim yang lainnya, ia tidak menzhaliminya dan tidak merendahkannya. Takwa itu disini (beliau menunjuk ke dadanya 3 kali), cukuplah seseorang dikatakan jahat jika dia menghinakan saudaranya sesama muslim. Setiap muslim dengan muslim lainnya adalah haram darahnya, hartanya, dan kehormatannya”. (HR. Muslim)

Di hadist lain Rasulullah bersabda:“Hendaklah kalian berlaku jujur, sebab kejujuran itu mengantar kepada kebaikan dan kebaikan itu mengantar ke surga dan senantiasa orang itu berlaku jujur dan terus menerus berlaku jujur sehingga dicatat di sisi Allah selaku orang yang jujur. Dan janganlah kalian berlaku dusta, sebab dusta mengantar kepada kedurhakaan dan kedurhakaan itu mengantar kepada neraka, dan senantiasa orang yang berdusta dan terus menerus berdusta sehingga dicatat di sisi Allah sebagai pendusta”. (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

Demikianlah beberapa pelajaran penting yang perlu diberikan kepada kaum remaja Islam di tanah air, sehingga mereka bisa menjaga diri dari perbuatan menzalimi diri sendiri maupun orang lain. Dengan menanamkan aqidah yang kuat pada diri seorang remaja Islam dan mengajarkan akhlakul karimah seperti yang dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wassalam, niscaya perbuatan sesat dan merusak seperti; tawuran, mengkonsumsi narkoba, seks bebas, dan lain sebagainya bisa dihindari.

Semoga uraian di atas memberi manfaat kepada kita semua. Amin ya robba alamin! (img: UNhGGoNZNug)

Oleh: YOGI ANDRIYADI